RUU HIP : PANCASILA MAU DIPERAS?
“Sudah saya bilang”, barangkali itu yang akan diucapkan Presiden Jokowi melihat kisruh yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila digulirkan DPR. Dalam berbagai kesempatan presiden menyatakan sikap bahwa Pancasila sudah final dan tidak boleh dibicarakan (diutak-atik) lagi.
Setelah Presiden mengirim surat kepada Menko Polhukam pada 8 Juni 2020 untuk membahas RUU usulan DPR ini, penolakan muncul dari berbagai kalangan mulai akademisi, aktivis, ormas, MUI, sampai Purnawirawan TNI. Gelombang demonstrasi oleh berbagai kalangan meletus akhir-akhir ini. Padahal Indonesia masih bergulat mengatasi penyebaran pandemi Covid-19 yang mengharuskan setiap orang menjaga jarak dan membatasi aktivitas sosial. Hal itu menjadi sinyal bahwa masyarakat sedemikian keras menyuarakan haknya untuk berpartisipasi secara negatif yaitu menolak dengan damai usulan wakilnya di Senayan.
Alasan paling kuat karena RUU HIP dianggap memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila serta mengabaikan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Pemerasan Pancasila terdapat pada pasal 7 Ayat (2) RUU HIP yang berbunyi “Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.” Sedangkan ayat (3) menyebutkan “Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.”
Pada kosideran menimbang huruf c menyebutkan perlu undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut saya merupakan tafsir yang terbalik, karena justru undang-undang yang harus merujuk pada Pancasila. Sehinga tidak benar jika Pancasila dianggap membutuhkan undang-undang untuk mengaktualisasi nilai-nilainya. Selain itu, pasal 6 Ayat (1) menyebutkan sendi pokok Pancasila hanya satu, yaitu keadilan sosial.
Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2 mengatakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Jika masih kurang paham, dijelaskan lebih lanjut maksudnya adalah kelima sila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial) harus menjadi rujukan materi muatan peraturan perundangan apapun. Jadi, tidak benar kalau Pancasila direduksi dan diatur arahnya karena dari awal sudah jelas. Lagi pula memang sudah seharusnya Pancasila menjadi nafas kehidupan masyarakat Indonesia karena merupakan ideologi dan dasar filosofis negara.
Apalagi jika melihat alasan DPR, khususnya fraksi PDIP yang mengusulkan RUU HIP berdasarkan pidato Bung Karno saat sidang BPUPKI. Tidak masuk logika, untuk apa mengusulkan kembali gagasan tersebut? Toh para founding fathers telah menyepakati sila yang lima, bukan tiga atau satu. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila tidak bisa dipilih-pilih mana yang pokok sesuai selera. Setiap butir merupakan pokok yang harus dilaksanakan.
Bung Karno merupakan proklamator kemerdekaan bersama Bung Hatta. Tetapi kurang tepat jika menganggap Indonesia lahir atas prakarsa seorang Bung Karno saja. Karena akan terlalu banyak campur tangan elemen bangsa yang diabaikan padahal mereka telah mati-matian membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajah dan kebodohan. Sebagai generasi penerus, kita wajib menghormati sosok dan jasa pahlawan. Sebaiknya, kita tidak mereduksinya dengan menjadikannya alat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Faktanya, Menko Polhukam selaku wakil pemerintah menolak untuk membahas RUU HIP yang memicu kontroversi dan meminta DPR lebih mendengar aspirasi masyarakat. Nampaknya langkah itu sejalan dengan keinginan banyak pihak. Sudah menjadi hal yang lumrah karena Prof Mahfud MD sendiri merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara dan mantan Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam konferensi persnya, Prof Mahfud menyatakan tidak benar jika RUU HIP akan memeras Pancasila dan mengabaikan TAP MRS Nomor 25 Tahun 1966.
Rabu, 8 Juli 2020, pimpinan MPR menemui Presiden, salah satunya menanyakan posisi pemerintah dalam polemik RUU HIP. Presiden menyatakan masih mengkaji lebih mendalam RUU HIP dengan mendengarkan aspirasi masyarakat. Ketua MPR juga diingatkan soal ideologi yang intinya harus memikirkan bagaimana menjaga Pancasila sampai kapan pun. Bahkan BPIP akan diberi payung hukum berupa undang-undang, bukan lagi Perpres. Mungkin ini isyarat Presiden bahwa pemerintah akan menolak usulan RUU HIP karena bertentangan dengan keinginan masyarakat.
Pada dasarnya demokrasi memberi ruang kepada siapa saja untuk secara aktif terlibat dalam pembangunan nasional. Namun, seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan sosial. Terlebih jika membuat peraturan perundangan yang imbasnya luas dan menyeluruh. Harus diperhitungkan matang-matang dan tidak boleh dimonopoli oleh kepentingan golongan tertentu, lebih-lebih hanya kepentingan seorang saja. Pancasila sudah menjadi harga mati, bukan basa-basi, dan tidak bisa ditawar lagi. Menafsirkan ulang Pancasila dengan menyimpang dari tujuan aslinya dapat dianggap pengkhianatan terhadap negara.
Menarik untuk ditunggu, bagaimana kelanjutan polemik RUU HIP? Saat ini bola panas berada di tangan Presiden. Keputusannya untuk menerima atau menolak membahas RUU HIP akan mempengaruhi reputasi politik dan kenegaraannya. Pemerintah selalu mengklaim telah mendengarkan suara rakyat. Pertanyaannya, rakyat yang mana dan suara yang seperti apa? Begitupun DPR, yang katanya wakil rakyat, tetapi sering kali usulannya ditolak oleh rakyat, bahkan menimbulkan kegaduhan. Mungkin dari pada sepi, DPR sedang membuat lelucon untuk menghibur masyakat yang selama 3 bulan terakhir terkena dampak Covid-19.
Semarang, 10 Juli 2020
Penulis : Aldita
Sosial Media Kami